[fusion_builder_container hundred_percent=”no” equal_height_columns=”no” hide_on_mobile=”small-visibility,medium-visibility,large-visibility” background_position=”center center” background_repeat=”no-repeat” fade=”no” background_parallax=”none” parallax_speed=”0.3″ video_aspect_ratio=”16:9″ video_loop=”yes” video_mute=”yes” border_style=”solid” flex_column_spacing=”0px” type=”flex”][fusion_builder_row][fusion_builder_column type=”1_1″ type=”1_1″ layout=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_color=”” border_style=”solid” border_position=”all” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding_top=”” padding_right=”30px” padding_bottom=”” padding_left=”30px” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”small-visibility,medium-visibility,large-visibility” center_content=”no” last=”true” min_height=”” hover_type=”none” link=”” first=”true”][fusion_text]
Halo, Teman – Teman CIMSA UI!
Pada kesempatan kali ini, aku mendapat kesempatan untuk berbincang dengan salah satu alumni CIMSA UI, yaitu Kak Shela Rachmayanti, yang merupakan Clinical Epidemiologist dan juga merupakan anggota Tim Pakar Satgas COVID-19. Kak Shela akan membagikan pandangan dan wawasannya terkait transisi masa pandemik-endemik kasus COVID-19 di Indonesia. Mari, kita simak bersama!
Sebelum membahas hal tersebut, kita seharusnya mengetahui terlebih dahulu tentang konsep penyebaran penyakit itu sendiri. Jika berbicara tentang besaran penyakit, sebenarnya terdapat 3 komponen utama, yaitu endemik, epidemik, dan pandemik. Dari 3 komponen tersebut terdapat 2 indikator utama yang menjadi pembeda di antara ketiganya, yaitu besaran masalah atau jumlah kasus dan luas wilayah.
Epidemik itu sendiri merupakan kondisi penyakit yang tiba tiba muncul di suatu tempat yang terlokalisir, dalam jumlah yang cukup banyak, contohnya jika terdapat 100 kasus keracunan salmonella di suatu acara, padahal biasanya sehari – hari yang terkena salmonella ini hanya 5 kasus. Sedangkan endemik merupakan suatu kondisi dimana penyakit tersebut menetap di wilayah yang cukup luas (biasanya suatu negara), tetapi jumlah besaran kasusnya tidak terlalu tinggi (dalam threshold yang masih dapat ditangani), serta penyakit itu biasanya menjadi ciri khas dari suatu daerah tersebut. Contohnya adalah kasus malaria dan tuberkulosis. Adapun pandemik ialah suatu kondisi penyakit tersebut berada di suatu wilayah yang lebih luas (lebih dari 70% negara di dunia) dan dengan jumlah kasus yang sangat banyak di masing – masing wilayah tersebut.
Lalu, Bagaimana cara membedakan suatu kasus penyakit dapat disebut epidemik, endemik, atau pandemik?
Cara membedakannya adalah dengan melihat besaran wilayah cakupan penyebaran penyakit tersebut dan jumlah detection kasus di wilayah tersebut. Dalam menghitung jumlah detection kasus ini, terdapat detection threshold yang menggunakan insidensi. Jika insidensi suatu penyakit di daerah tersebut mencapai 100 kasus, maka hal itu menjadi red alert terjadinya endemik. Jika insidensi suatu penyakit menyebar ke banyak negara di dunia, maka hal tersebut merupakan red alert timbulnya pandemik.
Namun, selain itu terdapat pembeda lain antara endemik dan pandemik, yaitu endemik biasanya para pemerintah dan fasilitas kesehatan sudah mengetahui dan mempunyai tatalaksana untuk menanggulanginya. Sedangkan pandemik, biasanya merupakan kasus yang baru ditemukan atau belum pernah ditemukan sebelumnya, sehingga pemerintah dan ahli kesehatan belum memiliki tatalaksana yang tepat untuk mengatasi kasus penyakit tersebut, seperti halnya wabah COVID-19 yang terjadi di 96 negara di dunia (per tahun 2020).
Lalu, bagaimana kondisi penatalaksanaan COVID-19 di Indonesia sekarang?
Sehubungan dengan tatalaksana kasus pandemi COVID-19 di Indonesia, yang mana sudah berlangsung selama 2 tahun – bahkan hampir 3 tahun ini – membuat pemerintah Indonesia setidaknya sudah memiliki beberapa langkah atau kebijakan yang walaupun belum 100% ampuh, namun dapat diterapkan untuk mengatasi dan meminimalisir lonjakan kasus COVID-19 yang tidak menentu dari waktu ke waktu, baik dari tingginya angka kematian, maupun penyebaran serta penularan virus COVID-19 di masyarakat. Hal ini membuat kasus COVID-19 di Indonesia sendiri sudah berada pada grafik yang cukup landai atau mulai menunjukkan perbaikan.
Per tanggal 21 April 2022, didapatkan jumlah kasus aktif COVID-19 di Indonesia yang mengalami penurunan sebesar 13.872 kasus, dengan jumlah pasien terkonfirmasi positif per harinya yang juga mengalami penurunan, yaitu 585 kasus per harinya. Selain itu, angka kesembuhan harian kasus COVID-19 juga bertambah cukup tinggi dengan total persentase kesembuhan secara kumulatif sebesar 96,6%. Kemudian, juga diperoleh total data vaksinasi COVID-19 di masyarakat untuk dosis pertama sebesar 95%, dosis kedua sebesar 78%, dan dosis ketiga sebesar 15,7% yang mana terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini menjadi sebuah pertanda yang baik bagi perkembangan kasus COVID-19 di Indonesia, yang tentunya perlu kita syukuri.
Namun, apakah dengan semakin membaiknya perkembangan kasus COVID-19 ini, dapat menjadi pertanda bahwa masa pandemi COVID-19 di Indonesia mampu bertransisi memasuki masa endemi?
Untuk menjawab persoalan ini, perlu kita tinjau kembali ke definisi di awal terkait definisi dan ketentuan pandemik – endemik. Kemudian harus diperhatikan apakah kasus COVID-19 di Indonesia sudah sampai pada tahapan detection threshold-nya yang bisa dimitigasi? atau apakah dari seluruh dunia penyebarannya masih cukup signifikan tingkat infectivity rate-nya?
Melihat hal tersebut, jika severity rate dan infectivity rate kasus COVID-19 di Indonesia bisa terus dipertahankan rendah, sebagaimana kondisi terkini di Indonesia sekarang, maka sangat “mungkin” Indonesia masuk ke masa transisi dari pandemik ke endemik. Namun, ternyata kita juga perlu melihat dari segi besaran kasusnya, yang mana kasus COVID-19 di Indonesia masih sangat tinggi yaitu masih berada di atas detection threshold.
Terdapat dua konsekuensi beserta ketentuannya yang perlu kita perhatikan dari kondisi perkembangan COVID-19 di Indonesia, yaitu :
- Jika ingin berhasil bertransisi ke arah endemik, maka harus dapat menekan jumlah kasus COVID-19 di Indonesia dengan cara harus memperhatikan 3 hal utama yaitu vaksinasi, penerapan protokol kesehatan, dan peningkatan pelayanan kesehatan
- Namun, jika ternyata terdapat hal yang tidak terduga yang terjadi di pelaksanaannya, seperti terjadinya mutasi COVID-19 yang mana pada dasarnya virus COVID-19 merupakan virus RNA yang sangat mudah dan cepat mutasinya. Terlebih, jika mutasi virus tersebut ke jenis yang sifat infektivitas dan virulensinya tinggi, maka tentu dapat menyebabkan kemunduran progres dari masa transisi-endemik ke masa pandemi kembali.
Sehingga terkait kondisi kasus COVID-19 di Indonesia sekarang, bisa dikatakan Indonesia berada pada masa transisi menuju masa endemi, dimana telah terjadi perkembangan yang cukup signifikan dari segi penanganan dan penanggulangan kasus COVID-19 ini. Dimana yang awalnya Indonesia belum punya persiapan terhadap pandemik, hingga sekarang sudah bisa mempunyai langkah-langkah penanganan terhadap kasus COVID-19. Namun, hal ini tetap bergantung dari kondisi virus maupun mutasi virus COVID-19 itu sendiri.
Terlepas dari Indonesia, adakah negara lain yang COVID-19nya sudah mendekati atau memasuki tahapan endemi?
Sebenarnya belum ada yang secara spesifik menyatakan negaranya memasuki tahap endemik. Namun, terdapat negara yang sudah menyatakan dirinya living with COVID, yaitu Inggris / UK yang sudah tidak mewajibkan masyarakatnya untuk memakai masker dan lebih bergantung kepada kesadaran masyarakat sendiri.
Jika kita ingin membandingkan kondisi di Inggris dengan di Indonesia, tentu tidak bisa disamakan karena terdapat beberapa perbedaan yang cukup signifikan, yaitu perbedaan fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat diketahui dari rasio dokter dan penduduknya, yang mana di Indonesia itu perbandingannya 1:500.000 untuk dokter umum. Kemudian, terkait tingkat vaksinasi sendiri juga sangat berbeda, di mana di Inggris sendiri sudah masuk ke dosis ke-empat, sedangkan di Indonesia untuk dosis kedua saja masih belum 100%.
Lantas, berapa lama perkiraan waktu yang dibutuhkan Indonesia untuk transisi COVID-19 dari pandemi ke endemi?
Jika membahas tentang durasi waktu sebenarnya cukup sulit menentukannya. Namun, hal yang pasti adalah berlangsungnya transisi dari kondisi pandemi ke endemi. Hal ini bergantung pada kesadaran masyarakat yang meningkat, yang mana semua masyarakat sudah memakai masker tanpa perlu himbauan keras, tidak ada lagi masyarakat yang takut divaksin, serta tidak ada lagi masyarakat yang takut di-swab jika memiliki gejala.
Nah, jika hal – hal tersebut dapat diterapkan dengan baik secara berkepanjangan, maka nantinya akan terbentuk kekebalan imun komunitas (HERD immunity), yang tentu tidak dapat terbentuk dalam jangka waktu 1-2 tahun saja. Dibutuhkan waktu sekitar 1-5 dekade atau 5-10 tahun ke depan. Hal ini juga dilihat berdasarkan waktu penanganan pandemi sebelumnya di Indonesia yang juga membutuhkan waktu sekitar 5-10 tahun, di mana saat itu masih belum ada vaksin. Sehingga perkiraan kasar durasi waktu yang dibutuhkan Indonesia untuk bertransisi sepenuhnya ke endemik ialah sekitar 5-10 tahun atau mungkin bisa lebih cepat beberapa tahun dibanding yang dahulu, di mana saat ini, teknologi kesehatan cepat berkembang.
Lalu, hal apa saja yang dapat menentukan suatu negara dapat dianggap siap untuk transisi dari pandemi ke endemi?
Pertama, tentu hal yang perlu diperhatikan adalah dari segi pemerintah, yang mana harus belajar banyak dari penanganan pandemi COVID-19 dari tahun 2020-2022 kemarin, dikarenakan terdapat banyak peraturan yang tidak relevan. Contohnya, seperti pemakaian APD pada dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang awalnya belum diwajibkan, justru harus dijadikan SOP dan dipertahankan. Kemudian, contoh lain adalah pemberian vaksin yang awalnya hanya fokus sebagai imunisasi dasar, seharusnya dapat dikembangkan menjadi imunisasi sekunder yang lain dan untuk COVID-19 sendiri, bisa diadakan imunisasi booster setiap tahunnya.
Sedangkan dari sektor non-medis, seperti pendidikan yang mana selama 2 tahun ini, hampir 80% kegiatan belajar-mengajar dilaksanakan secara online. Sehingga dapat menimbulkan loss of generation, yaitu banyak terdapat anak didik yang tidak bisa merasakan interaksi sosial dengan orang lain atau masyarakat. Padahal cara berinteraksi dengan orang lain, problem solving adalah hal yang paling penting untuk didapat dari sekolah atau kuliah selain dari materi pembelajaran. Seharusnya ada penyesuaian waktu kapan saja anak didik diperbolehkan untuk masuk sekolah secara offline karena sebenarnya peningkatan kasus COVID-19 ini dapat diprediksi, seperti saat akhir tahun, saat setelah lebaran, saat liburan panjang. Jika bisa mencermati dengan baik peningkatan tersebut, seharusnya Kementerian Pendidikan dapat membuat jadwal kapan waktu masuk sekolah secara cermat untuk pembagian waktu sekolah online dan offline.
Selain itu, dari sektor Industri juga dapat dilihat dimana baik saat pandemi maupun sebelum pandemi COVID-19, setiap ingin menerbitkan suatu produk, pasti membutuhkan persyaratan yang rumit. Tetapi sejak pandemi, dikarenakan terjadi kekurangan alat kesehatan, barulah persyaratan tersebut dilonggarkan pengecekannya. Dari hal-hal tersebut, pemerintah dapat belajar untuk kedepannya dalam mengambil kebijakan. Peraturan yang ada harus disesuaikan dengan kondisi pandemi COVID-19. Apalagi melihat kondisi pandemi COVID-19 ini yang sudah memasuki tahun ke-3, sehingga pemerintah harus dapat mempercepat penyesuaian dan pengambilan tindakannya.
Sedangkan, bagi masyarakat Indonesia, apa hal yang perlu disiapkan dalam menghadapi transisi dari pandemi ke endemi?
Dari segi masyarakat sendiri, harus mawas diri terhadap penerapan protokol kesehatan, yaitu tetap memakai masker, bersedia untuk divaksin, dan jangan takut untuk mencari pertolongan jika memang merasakan gejala COVID-19.
Berdasarkan sumber daya dan tanggapan Indonesia dalam menanggulangi COVID-19 yang lalu, apakah Indonesia telah siap untuk melakukan transisi dari pandemi ke endemi?
Jika dilihat berdasarkan respon dari pemerintah dan masyarakat saat ini, maka kondisi tahun ini lebih baik daripada tahun 2020. Pemerintah lebih banyak menyampaikan feedback dan masyarakat saat ini juga jauh lebih kritis. Seharusnya dengan semakin membaiknya respon pemerintah dan masyarakat, Indonesia bisa lebih siap daripada 2 tahun lalu dalam menanggulangi COVID-19.
Namun, di sisi lain karena adanya COVID-19 ini, kita juga tidak boleh melupakan kasus – kasus seperti Tuberkulosis, HIV, dan kasus kematian Ibu-anak yang masih tinggi. Sehingga pemerintah, LSM, dan masyarakat harus juga memperhatikan semua aspek.
Hambatan apa saja yang kira kira bisa mempengaruhi transisi dari pandemi ke endemi?
Hambatannya cuma ada 3, yang pertama yaitu Ego Sektoral dari pemerintahan, dimana kementerian lembaga dan organisasi tenaga kesehatan tidak boleh ada yang lebih merasa dominan atau superior karena tentu semua pihak berperan sama besarnya, tidak ada yang lebih penting, justru dibutuhkan peranan semua pihak untuk menangani COVID-19 ini. Hambatan kedua berupa kepatuhan dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi transisi pandemi COVID-19, yang harus terus ditingkatkan dan coba disadari dari dalam diri sendiri. Kemudian, hambatan yang terakhir adalah Pemerintah yang seharusnya menjaga integritasnya. Pada kondisi COVID-19 seperti ini jangan dijadikan ladang politik ataupun aspek mencari keuntungan, dimana hal ini juga dapat mengakibatkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Pemerintah seharusnya mengayomi agar terjadi kesatuan antara Pemerintah. Karena dalam menangani COVID-19 ini, harus melibatkan semua komponen, baik dari LSM, masyarakat, ataupun pemerintah itu sendiri.
Lalu, jika kelak Indonesia berhasil memasuki keadaan endemik COVID-19, apakah hal tersebut menandakan bahwa COVID-19 tidak lagi berbahaya?
Endemik itu sendiri dipengaruhi 2 hal, yaitu jumlah kasus dan luas wilayah. Hal ini menandakan tidak ada pengaruhnya dengan tingkat keparahan. Sehingga jika suatu saat nanti, Indonesia berada pada fase endemik, maka tidak ada pengaruhnya dengan tingkat keparahan, sehingga bahayanya masih sama besarnya, tergantung pada kekebalan tubuh seseorang, terlebih untuk orang – orang yang belum divaksin dan yang memiliki faktor risiko. Selain itu, tidak ada yang bisa memodifikasi tingkat mortalitas, kecuali jika virus COVID-19 ini bermutasi menjadi lebih ringan. Justru, kondisi dapat bertambah parah jika semakin banyak orang yang rentan, semakin banyak yang terinfeksi, atau bahkan jika terjadi mutasi yang lebih parah, maka bisa menyebabkan terjadi pandemi lagi.
Kesimpulannya
Kondisi pandemi COVID-19 di Indonesia ini sudah pasti dapat bertransisi menjadi endemik. Cepat atau lambat tergantung perubahan dan perkembangan COVID-19. Pelajaran yang penting bagi sektor kesehatan itu sendiri adalah hindari ego sektoral dan harus pertimbangkan berbagai sektor lainnya, tidak hanya sektor klinis saja.
Ditulis oleh :
Indah Nirmala Putri
ASD CIMSA UI 2021-2022
Narasumber :
Shela Rachmayanti, MD.
Alumni SCOPH CIMSA UI 2014
Clinical Epidemiologist
Anggota Tim Pakar Satgas COVID-19
Referensi :
Satuan Tugas Penanganan COVID-19. Situasi COVID-19 di Indonesia (Update per 21 April 2022) [Internet]. Indonesia ; 2022 Apr 21 [cited 2022 Apr 21]. Available from: https://docs.google.com/document/d/18YAGTSrjT8_vMUqqmJpy8QAglXfvbQLdQWcGpiMrWAY/edit
[/fusion_text][/fusion_builder_column][/fusion_builder_row][/fusion_builder_container]