Halo, Teman – Teman CIMSA UI!

Pada kesempatan kali ini, aku mendapat kesempatan untuk berbincang dengan salah satu alumni CIMSA UI, yaitu Kak Bagus Radityo Amien, yang akan membagikan pandangan dan wawasannya terkait prediksi perkembangan kasus COVID-19 di Indonesia kedepannya. Yuk, disimak!

Pada beberapa waktu belakangan ini, berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, kasus COVID-19 sudah mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hal ini tentu merupakan hal yang harus disyukuri terlebih dahulu karena sudah hampir 2 tahun, COVID-19 mewabah di Indonesia, di mana puncaknya terdapat pada bulan Januari dan Juli 2021 kemarin. Penurunan ini mulai terlihat sejak bulan Agustus yang berlanjut hingga ke bulan Oktober sekarang ini, dimana kasus positif sudah berkurang hingga di bawah 1000 kasus per harinya.

Di Rumah Sakit Persahabatan sendiri kasus positif COVID-19 juga jauh berkurang. Sangat berbeda dengan masa puncak dahulu di bulan Juli, dimana IGD pun bisa menjadi tempat rawat inap pasien COVID-19. Di bulan Oktober ini sendiri kasus positif COVID di Rumah Sakit Persahabatan sudah berjumlah kurang dari 20 kasus.

Pada dasarnya, penurunan kasus ini disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya, strategi pemerintah yang sudah cukup massive, masyarakat yang sudah mulai memahami betapa pentingnya PHBS, protokol kesehatan, dan juga vaksinasi COVID-19. Terkait tingkat vaksinasi di Indonesia sendiri, berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI per tanggal 23 Oktober 2021 kemarin, untuk dosis pertama sudah mencapai 53%, sedangkan untuk dosis lengkapnya sudah mencapai 32%.

Namun, ternyata perlu diwaspadai juga, apakah kasus ini mengalami penurunan karena kasusnya benar – benar turun atau karena jumlah testing-nya yang turun?

Karena di beberapa data, juga sempat menunjukkan bahwa jumlah masyarakat yang melakukan tes COVID-19 menurun jumlahnya, sehingga ada juga yang berpendapat bahwa kasus positif pun menjadi berkurang karena itu. Meskipun terdapat pendapat yang mengatakan hal tersebut tidak benar. Untuk menanggapi ketidakjelasan hal ini, maka akan lebih baik jika testing, tracing, dan treatment diperbaiki lagi kedepannya dan juga mungkin bisa lebih dikembangkan untuk menggalakan active-testing kepada masyarakat daripada passive-testing.

Berkaca dari kebijakan pemerintah yang melonggarkan PPKM, menurut Kak Bagus sendiri, sebenarnya beliau cukup setuju dengan kebijakan PPKM yang dilonggarkan, dengan catatan protokol kesehatan harus tetap dijaga dan monitoring yang ketat dari pemerintah. Hal ini dikarenakan kita harus melihat dampaknya dari berbagai aspek, tidak hanya aspek kesehatan saja. Aspek lain yang penting dan harus diperhatikan antara lain:

  • Aspek sosio-ekonomi, dimana jika PPKM terus diberlakukan, akan banyak sekali wirausahawan atau masyarakat yang kehilangan pekerjaannya, mengalami kerugian, atau bahkan risiko terancam gulung tikar. Hal ini juga turut bisa mempengaruhi kestabilan perekonomian secara nasional. Sehingga dengan dilonggarkannya PPKM, aspek sosio-ekonomi akan mulai membaik.
  • Aspek pendidikan, yang mana merupakan aspek penting khususnya bagi para generasi muda penerus bangsa. Metode pembelajaran online menjadi alternatif di masa pandemi ini, yang mana keefektifannya tentu berbeda dengan pembelajaran offline. Sehingga dengan adanya PPKM yang dilonggarkan ini, diharapkannya pelajar – pelajar di Indonesia bisa mendapatkan pembelajaran yang sesuai dan lebih efektif, sebagaimana sekarang sudah mulai diberlakukan PTM (Pembelajaran Tatap Muka).

Untuk Pembelajaran Tatap Muka yang sudah mulai diselenggarakan, sebenarnya tentu sangat berisiko untuk meningkatkan paparan, meskipun sudah diberi jarak. Namun, PTM ini memiliki standar dan peraturannya sendiri dari pemerintah yang harus selalu dipatuhi, seperti PTM yang harus dilakukan di sekolah yang berada di zona hijau, meja dan ruangan yang diberi jarak, aturan membawa perlengkapan pribadi sendiri, dan tentunya protokol kesehatan 6M yang harus senantiasa diterapkan. Sehingga untuk dilakukan PTM di masa sekarang yang mana juga sedang terjadi penurunan kasus, menurut Kak Bagus sendiri sangat worth it untuk dicoba, yang terpenting selalu tegakkan protokol kesehatan dimanapun berada.

Tak hanya terkait PTM, Pemerintah juga memiliki beberapa indikator untuk menentukan kapan bisa dilonggarkan PPKM-nya, yaitu positivity rate-nya di bawah 5%, yang mana kondisi positivity rate sekarang sudah di bawah 5%. Sehingga jika ingin dilonggarkan berdasarkan jumlah kasus positifnya sebenarnya tidak apa – apa. Walaupun, dari aspek kesehatan, dampak dari PPKM yang dilonggarkan ini sangat mungkin untuk meningkatkan risiko kasus positif. Akan tetapi, hal tersebut sebenarnya bisa dicegah dengan tetap menegakkan adaptasi new normal, seperti protokol kesehatan, PHBS, vaksinasi yang terus ditingkatkan, yang disertai pengawasan pemerintah atau monitoring yang menyeluruh, agar prognosis COVID-19 kedepannya tidak memburuk.

Lalu, apakah ada kemungkinan bagi COVID-19 untuk menjadi penyakit endemik di Indonesia?

Sebenarnya ada kemungkinan bagi COVID-19 untuk ditetapkan sebagai penyakit endemic yang hanya terjadi pada populasi atau daerah tertentu di Indonesia. Tetapi, untuk waktunya masih belum pasti. Karena pada dasarnya suatu penyakit bisa disebut penyakit endemic itu harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu very low transmission atau penularannya yang sangat rendah. Dan jika berbicara tentang COVID-19, menurut Kak Bagus sendiri ada 2 hal yang menjadi syarat, yaitu transmisinya yang rendah dan kekebalan kelompok (herd immunity) yang sudah tercapai.

Jika dilihat dari aspek transmisi yang rendah, sebenarnya sekarang sudah memenuhi karena positivity rate nya sudah dibawah 5%, namun kembali lagi apakah testing yang dilakukan tersebut sudah mencakup mayoritas penduduk atau masih kurang testing-nya. Kemudian, agar suatu negara dikatakan memiliki kekebalan kelompok (HERD immunity) immunity, yaitu jika 70 – 80% penduduknya sudah tervaksinasi lengkap. Sedangkan berdasarkan data dari Kemenkes jumlah vaksinasi dosis lengkap di Indonesia per tanggal 23 Oktober kemarin baru mencapai 32%. Sehingga masih perlu ditingkatkan lagi vaksinasinya.

Berbicara tentang vaksinasi, apakah vaksinasi bisa menurunkan jumlah kasus COVID-19?

Vaksinasi merupakan salah satu yang termasuk bisa memengaruhi penurunan kasus COVID-19, selain penerapan PHBS & protokol kesehatan.

Apakah vaksinasi yang dilakukan sudah efisien?

Vaksinasi yang dilakukan Indonesia termasuk cukup efisien. Hal ini dapat dilihat dari waktu mulai vaksin secara intens digencarkan ke masyarakat luas itu sekitar sejak bulan Maret, April atau Mei, namun di bulan Juli-Agustus sudah dapat dilihat dampaknya. Walaupun memang tetap ada kasus dimana orang yang sudah divaksin terkena COVID-19. Namun, secara umum tingkat keparahannya bisa dikatakan lebih ringan dibanding dengan orang yang belum tervaksinasi.

Lalu, apa yang dapat ditingkatkan dari pelaksanaan vaksinasi ini?

Vaksinasi sejauh ini memang masih lebih banyak ditemui di kota – kota besar, sehingga diharapkannya pemerintah dapat memperluas vaksinasi ke daerah – daerah pelosok. Selain itu, juga bisa ditingkatkan edukasi tentang pentingnya vaksin bagi masyarakat luas.

Kemudian, salah satu hal yang menjadi ketakutan masyarakat atau lebih tepatnya pernah menjadi penyebab lonjakan kasus COVID-19 di dunia adalah adanya mutasi dari virus COVID-19.

Mungkinkan ke depannya, COVID-19 bermutasi lagi?

COVID-19 sangat mungkin untuk bermutasi lagi, karena pada dasarnya virus itu merupakan partikel yang senantiasa beradaptasi terhadap lingkungannya. Bahkan virus lain seperti influenza pun juga sering bermutasi. Sehingga kita perlu memantau dan senantiasa meng-update informasi terkait mutasi ini dan harus memerhatikan bentuk mutasi seperti apa yang ditimbulkan.

Lalu, apa yang harus kita waspadai agar mutasi dari COVID ini tidak menimbulkan peningkatan kasus seperti pada puncak COVID di bulan Juli lalu?

Kita sudah memiliki pengalaman sebelumnya, sehingga jangan pernah bosan atau merasa sudah cukup untuk menerapkan protokol kesehatan. Selama transmisi belum sepenuhnya berkurang dan belum mencapai HERD immunity, maka kita harus senantiasa menerapkan protokol kesehatan.

Saat penularan terjadi dari satu orang ke orang lain, maka virus akan senantiasa mencoba beradaptasi setiap menular ke orang baru lainnya, sehingga semakin banyak terjadi transmisi, semakin tinggi juga potensi virus untuk bermutasi.

Dalam mencegah terjadinya lonjakan kasus COVID-19 kedepannya di Indonesia, diperlukan peranan dari seluruh pihak, baik dari Pemerintah maupun masyarakat umum.

Dari Pemerintah sendiri, sebenarnya sudah banyak kebijakan yang dilakukan dan diterapkan, seperti menerapkan PPKM yang diharapkan dapat mencegah penularan. Lalu, dari aspek vaksinasi sendiri, juga sudah ada beberapa upaya penyediaan vaksin, seperti vaksin import, vaksin yang sedang dalam tahap uji klinis. Selain itu, dari aspek testing, PCR yang dahulu sempat mahal dan susah sekali diakses, namun sekarang harga sudah dikontrol, hingga per tanggal 23 Oktober 2021 harga PCR sudah berkisar maksimal 495 ribu rupiah. Dari aspek diagnostik juga sudah ditingkatkan dimana hasil PCR sudah dipercepat. Ditambah lagi sekarang sudah mulai terintegrasi dengan adanya aplikasi peduli lindungi. Dari aspek obat – obatan penunjang pun sudah mengalami peningkatan, ditandai dengan stock oksigen dan obat – obatan yang sudah stabil sekarang.

Jadi, sebenarnya sudah cukup atau belum upaya dari pemerintah dalam menghadapi COVID-19?

Sebenarnya cukup atau tidaknya itu sifatnya subjektif tergantung dari kacamata masing – masing orang. Dan menurut Kak Bagus sendiri, upaya dan kebijakan yang dibuat pemerintah sudah banyak dan cukup lengkap. Sehingga untuk langkah kedepannya itu, tinggal bagaimana pemerintah dapat menjaga agar kebijakan tersebut tetap berjalan dan memastikan eksekutor – eksekutor di bawahnya menjalankan kebijakan tersebut dengan benar.

Selain dari aspek pemerintah, aspek masyarakat pun sangat penting untuk diperhatikan apakah sudah memahami dan mau menaati kebijakan tersebut. Dan peran untuk menyebarluaskan kebijakan ini, sebenarnya dipegang oleh seluruh masyarakat itu sendiri, bagaimana bisa saling mengingatkan satu sama lain. Sejauh ini, sebagian masyarakat sebenarnya sudah mulai paham dan terbiasa dengan PHBS dan protokol kesehatan. Terkhusus, bagi masyarakat yang menengah ke atas, biasanya mereka sudah mulai inisiatif menerapkan protokol kesehatan. Pasien yang bahkan datang ke rumah sakit bukan karena COVID, seperti Ibu hamil, orang sakit sudah terbiasa dengan kebiasaan cuci tangan dan pentingnya protokol kesehatan. Namun, sayangnya masyarakat menengah ke bawah masih banyak yang belum sadar sepenuhnya tentang pentingnya menerapkan protokol kesehatan dalam kehidupan sehari – hari

Lalu, adakah peran kita sebagai mahasiswa yang dapat dilakukan untuk membantu mencegah perburukan kasus COVID-19 di Indonesia?

Sebagai mahasiswa, terlebih mahasiswa kedokteran, kita harus dapat memilah informasi yang valid dan yang merupakan hoaks, sumber – sumber mana saja yang memberikan informasi valid. Setelah itu, baru kita dapat menyebarluaskan informasinya ke masyarakat umum. Selain itu, sebagai mahasiswa, kita juga harus dapat memberikan contoh yang baik dengan selalu menerapkan gerakan 6M, PHBS, dan mematuhi protokol kesehatan yang ada.

Akhir kata, Kak Bagus menyampaikan bahwa, “COVID itu memang bisa bermutasi, namun kita sebagai manusia juga harus bisa ikut bermutasi dengan cara harus mulai terbiasa dengan era new normal, menerapkan protokol kesehatan 6M hingga dapat menekan transmisi dan mencapai herd immunity, mengikuti vaksinasi, serta menjadi edukator dan contoh teladan bagi masyarakat yang lain.”

Wawancara ini dilakukan per tanggal 23 Oktober 2021
Narasumber: dr. Bagus Radityo Amien